Senin, 14 Januari 2008

SEMANGAT LAUT

“Awalnya adalah revolusi dengan semangat meletup-letup, setelah itu adalah kerja membangun dengan kesabaran berlipat-lipat. Mulanya mungkin adalah cinta yang nyaris membuat buta, selebihnya adalah kerja sabar membina keluarga…”
Jika kita amati, ada momentum dalam hidup kita yang pada suatu ketika lebih banyak menuntut semangat ketimbang kesabaran. Sedangkan di momentum yang lain, kesabaran ternyata lebih banyak dibutuhkan.
Yang jadi pertanyaan kemudian: seberapakah proporsi semangat-kesabaran itu diperlukan dalam rentang hidup yang panjang? Seorang teman yang melankolik, lebih tepatnya suka “menggombal” (bukti kegombalannya: Ia menyebut dirinya Pangeran), pernah memberi inspirasi melalui SMS untuk merumuskan proporsi dua hal itu jadi begini: “Jika semangat itu seperti sungai, maka kesabaran harus seperti samudera”
Dengan sedikit mengabaikan kegombalan ”Sang Pangeran” itu, kita menemukan pelajaran: kesabaran ternyata jauh lebih banyak diperlukan dalam proporsi jumlah dan lama waktunya.Kita bisa melihat: fase rekonstruksi dalam penanggulangan bencana selalu lebih panjang dan membutuhkan kesabaran lebih banyak dari fase emergency-nya. Fase membina keluarga dan mendidik anak jauh lebih panjang ketimbang masa bulan madunya. Demikian pula, konsekuensi syahadat tak sebanding jika disepadankan dengan waktu pengucapannya.
Kesabaran juga lebih banyak dibutuhkan dalam perjuangan membangun negeri, karena revolusi –yang banyak menghajatkan semangat dan keberanian berlebih– ternyata tidak bisa terjadi tiap hari. Revolusi membutuhkan sekian banyak syarat yang tak tersedia di setiap zaman. Bahkan, revolusi pun ternyata harus manut jadwal, sehingga Emil Salim (sepertinya dengan bercanda) memberi judul bukunya: Revolusi Berhenti di Hari Minggu.
Semangat yang berlebih seringkali justeru jadi sebab sikap ekstrem yang kontra produktif. Sikap yang kadang harus hidup dengan adanya musuh buatan dan dramatisasi keadaan. Padahal, musuh itu kadang berwujud nafsu diri dan keadaan pun sering terlihat biasa-biasa saja.Namun, apakah makna kesabaran ketika dihubungkan dengan semangat? Fragmen sejarah berikut penting diambil pelajaran.
Anak Umar bin Abdul Aziz yang bernama Abdul Malik pernah berkata sambil emosi, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang engkau akan katakan kepada Rabb-mu besok, jika Dia bertanya kepadamu dengan firmannya, “Kamu melihat bid’ah tapi kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunnah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?”
Ayahnya berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu ikat satu ikat, ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika merebutnya dengan keras, karena akan semakin banyak mengeluarkan darah. Apakah kamu tidak rela, jika datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah pada hari itu?”
Selain makna pentingnya kebertahapan, kisah Umar bin Abdul Aziz tersebut mengajarkan pula bahwa kesabaran itu bisa berarti: menebar semangat di setiap hari-hari kita. Sampai kemudian, tidak ada hari selain ada matinya satu bid’ah dan hidupnya satu sunnah di hari itu. “Apakah kamu tidak rela, jika datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah pada hari itu?”
Sehingga, orang yang sabar sebenarnya adalah orang yang selalu bersemangat di semua hari-harinya, bukan orang yang lemah, lamban lagi menjemukan. Bukan pula seperti orang miskin yang tak memahami artinya kaya sehingga ia terus bertahan dalam kemiskinannya. Orang yang sabar adalah mereka yang punya cita, terus berjuang, sampai kemudian ia berhasil, mengerti dan mendapat hikmah dari kegagalan yang pernah dialaminya. Orang sabar adalah orang yang selalu progresif, selalu punya agenda dakwah, meminjam istilah Umar: membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah setiap hari. Dan semuanya itu tak mungkin tanpa semangat yang terdistribusi secara proporsional.
Ketika dakwah ini punya semboyan: hamasatus-sabab wa hikmatusy-syuyukh, semangatnya para pemuda dan hikmahnya para orang tua, mestinya hubungan antar keduanya itu kita pahami seperti hubungan antara sungai dan laut. Semangat itu harus sambung-menyambung hingga menjelma jadi samudera hikmah dan kesabaran yang dinamis, karena kesabaran –pada hakekatnya ternyata– adalah semangat yang melaut. Kesabaran bukan aliran air sungai yang menggenang di rawa-rawa, tetapi aliran sungai yang melaut dan menjadikannya ombak yang terus bergerak.
Dan ketika mendengar Yusuf Al-Qaradhawy ceramah dengan berapi-api di Jakarta beberapa waktu lalu, kita pun jadi menemukan contoh: begitulah sosok hamasatus-sabab wa hikmatusy-syuyukh ketika menjelma utuh jadi satu pribadi. Al-Qaradhawy telah menjadikan semangatnya melaut hingga jadi kesabaran yang dinamis. Dengan kesabarannya itulah ia melahirkan sikap moderat, karya-karya besar dan ceramah yang menggerakkan. Wallahu A’lam.

Jumat, 11 Januari 2008

WASIAT SEORANG IBU KEPADA ANAK PEREMPUANNYA

Oleh
Abu Abdurrahman bin Abdurrahman Ash-Shabihi
Anjuran Berwasiat Kepada Calon Isteri

Anas mengatakan bahwasanya para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mempersembahkan (menikahkan) anak perempuan kepada calon suaminya, mereka memerintahkan kepadanya untuk berkhidmat kepada suami dan senantiasa menjaga hak suami.

Pesan Bapak Kepada Anak Perempuannya Saat PernikahanAbdullah bin Ja’far bin Abu Thalib mewasiatkan anak perempuannya, seraya berkata, “Jauhilah olehmu perasaan cemburu, karena rasa cemburu adalah kunci jatuhnya thalak. Juga jauhilah olehmu banyak mengeluh, karena keluh kesah menimbulkan kemarahan, dan hendaklah kamu memakai celak mata karena itu adalah perhiasan yang paling indah dan wewangian yang paling harum”.

Pesan Ibu Kepada Anak PerempuannyaDiriwayatkan bahwa Asma binti Kharijah Al-Farzari berpesan kepada anak perempuannya disaat pernikahannya, “Sesungguhnya engkau telah keluar dari sarang yang engkau tempati menuju hamparan yang tidak engkau ketahui, juga menuju teman yang engkau belum merasa rukun dengannya. Oleh karena itu jadilah engkau sebagai bumi baginya, maka dia akan menjadi langit untukmu. Jadilah engkau hamparan baginya, niscaya ia akan menjadi tiang untukmu. Jadilah engkau hamba sahaya baginya, maka niscaya ia akan menjadi hamba untukmu. Janganlah engkau meremehkannya, karena niscaya dia akan membencimu dan janganlah menjauh darinya karena dia akan melupakanmu. Jika dia mendekat kepadamu maka dekatkanlah dirimu, dan jika dia menjauhimu maka menjauhlah darinya. Jagalah hidungnya, pendengarannya, dan matanya.
Janganlah ia mencium sesuatu darimu kecuali wewangian dan janganlah ia melihatmu kecuali engkau dalam keadaan cantik. [1] Pesan Amamah binti Harits Kepada Anak Perempuannya Saat Pernikahan.Amamah bin Harits berpesan kepda anak perempuannya tatkala membawanya kepada calon suaminya, “Wahai anak perempuanku! Bahwasanya jika wasiat ditinggalkan karena suatu keistimewaan atau keturunan maka aku menjauh darimu. Akan tetapi wasiat merupakan pengingat bagi orang yang mulia dan bekal bagi orang yang berakal. Wahai anak perempuanku! Jika seorang perempuan merasa cukup terhadap suami lantaran kekayaan kedua orang tuanya dan hajat kedua orang tua kepadanya, maka aku adalah orang yang paling merasa cukup dari semua itu. Akan tetapi perempuan diciptakan untuk laki-laki dan laki-lakai diciptakan untuk perempuan. Oleh karena itu, wahai anak perempuanku! Jagalah sepuluh perkara ini.

Pertama dan kedua : Perlakuan dengan sifat qana’ah dan mu’asyarah melalui perhatian yang baik dan ta’at, karena pada qan’aah terdapat kebahagiaan qalbu, dan pada ketaatan terdapat keridhaan Tuhan.

Ketiga dan keempat : Buatlah janji dihadapannya dan beritrospeksilah dihadapannya. Jangan sampai ia memandang jelek dirimu, dan jangan sampai ia mencium darimu kecuali wewangian.
Kelima dan keenam : Perhatikanlah waktu makan dan tenangkanlah ia tatkala tidur, karena panas kelaparan sangat menjengkelkan dan gangguan tidur menjengkelkan.

Ketujuh dan kedelapan : Jagalah harta dan keluarganya. Dikarenakan kekuasaan dalam harta artinya pengaturan keuangan yang bagus, dan kekuasaan dalam keluarga artinya perlakuan yang baik.

Kesembilan dan kesepuluh : Jangan engkau sebarluaskan rahasianya, serta jangan engkau langgar peraturannya. Jika engkau menyebarluaskan rahasianya berarti engkau tidak menjaga kehormatannya. Jika engkau melanggar perintahnya berarti engkau merobek dadanya. [2]
Bahwasanya keagungan baginya yang paling besar adalah kemuliaan yang engkau persembahkan untuknya, dan kedamaian yang paling besar baginya adalah perlakuanmu yang paling baik. Ketahuilah, bahwasanya engkau tidak merasakan hal tersebut, sehingga engkau mempengaruhi keinginannya terhadap keinginanmu dan keridhaannya terhadap keridhaanmu (baik terhadap hal yang engkau sukai atau yang engkau benci). Jauhilah menampakkan kebahagiaan dihadapannya jika ia sedang risau, atau menampakkan kesedihan tatkala ia sedang gembira.

Tatkala Ibnu Al-Ahwash membawa anak perempuannya kepada amirul mukminin Ustman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, dan orang tuanya telah memberinya nasihat, Ustman berkata, “Pondasi mana saja, bahwasanya engkau mengutamakan perempuan dari suku Quraisy, karena mereka adalah perempuan yang paling pandai memakai wewangian daripada engkau. Oleh karena itu perliharalah dua perkataan : Nikahlah dan pakailah wewangian dengan menggunakan air hingga wangimu seperti bau yang ditimpa air hujan.

Ummu Mu’ashirah menasihati anak perempuannya dengan nasihat sebagai berikut (sungguh aku membuatnya tersenyum bercampur sedih): Wahai anakku.. engkau menerima untuk menempuh hidup baru… kehidupan yang mana ibu dan bapakmu tidak mempunyai tempat di dalamnya, atau salah seorang dari saudaramu. Dalam kehidupan tersebut engkau menjadi teman bagi suamimu, yang tidak menginginkan seorangpun ikut campur dalam urusanmu, bahkan juga daging darahmu. Jadilah istri untuknya wahai anakku, dan jadilah ibu untuknya. Kemudian jadikanlah ia merasakan bahwa engkau adalah segala-galanya dalam kehidupannya, dan segala-galanya di dunia.

Ingatlah selalu bahwasanaya laki-laki anak-anak atau dewasa memiliki kata-kata manis yang lebih sedikit, yang dapat membahagiankannya. Janganlah engkau membuatnya berperasaan bahwa dia menikahimu menyebabkanmu merasa jauh dari keluarga dan sanak kerabatmu. Sesungguhnya perasaan ini sama dengan yang ia rasakan, karena dia juga meninggalkan rumah orang tuanya, dan keluarga karena dirimu. Tetapi perbedaan antara dia dan kamu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan selalu rindu kepada keluarga dan tempat ia dilahirkan, berkembang, besar dan menimba ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai seorang isteri ia harus kembali kepada kehidupan baru. Dia harus membangun hidupnya bersama laki-laki yang menjadi suami dan perlindungannya, serta bapak dari anak-anaknya. Inilah duaniamu yang baru.

Wahai anakku, inilah kenyataan yang engkau hadapi dan inilah masa depanmu. Inilah keluargamu, dimana engkau dan suamimu bekerja sama dalam mengarungi bahtera rumah tannga. Adapun bapakmu, itu dulu. Sesungguhnya aku tidak memintamu untuk melupakan bapakmu, ibumu dan sanak saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya wahai buah hatiku. Bagaimana mungkin seorang ibu melupakan buah hatinya. Akan tetapi aku memintamu untuk mencintai suamimu dan hidup bersamanya, dan engkau bahagia dengan kehidupan berumu bersamanya.

Seorang perempuan berwasiat kepada anak perempuannya, seraya berkata, “Wahai anakku, jangan kamu lupa dengan kebersihan badanmu, karena kebersihan badanmu menambah kecintaan suamimu padamu. Kebersihan rumahmu dapat melapangkan dadamu, memperbaiki hubunganmu, menyinari wajahmu sehingga menjadikanmu selalu cantik, dicintai, serta dimuliakan di sisi suamimu. Selain itu disenangi keluargamu, kerabatmu, para tamu, dan setiap orang yang melihat kebersihan badan dan rumah akan merasakan ketentraman dan kesenangan jiwa”.

[Disalin dari buku Risalah Ilal Arusain wa Fatawa Az-Zawaz wa Muasyaratu An-Nisaa, Edisi Indonesia Petunjuk Praktis dan Fatwa Pernikahan, Penulis Abu Abdurrahman Ash-Shahibi,Penerbit Najla Press]
FooteNote[1]. Ahkamu An-Nisa karangan Ibnu Al-Jauzi hal.79[2]. Ahkamu An-Nisa karangan Ibnu Al-Jauzi hal.80